Friday, January 20, 2012

Puisi Kahlil Gibran

2. puisi Kahlil Gibran

ANTARA PAGI DAN MALAM HARI 

TENANGLAH hatiku, karena langit tak pun mendengarkan
Tenanglah, karena bumi dibebani dengan ratapan kesedihan.
Dia takkan melahirkan melodi dan nyanyianmu.
Tenanglah, kerana roh-roh malam tak menghiraukan bisikan rahasiamu, dan bayang-bayang tak berhenti dihadapan mimpi-mimpi.
Tenanglah, hatiku. Tenanglah hingga fajar tiba, kerana dia yang menanti pagi dengan sabar akan menyambut pagi dengan kekuatan. Dia yang mencintai cahaya, dicintai cahaya.
Tenanglah hatiku, dan dengarkan ucapanku.

DALAM mimpi aku melihat seekor murai menyanyi saat dia terbang di atas kawah gunung berapi yang meletus.
Kulihat sekuntum bunga Lili menyembulkan kelopaknya di balik salju.
Kulihat seorang bidadari telanjang menari-menari di antara batu-batu kubur.
Kulihat seorang anak tertawa sambil bermain dengan tengkorak-tengkorak.
Kulihat semua makhluk ini dalam sebuah mimpi. Ketika aku terjaga dan memandang sekelilingku, kulihat gunung berapi memuntahkan nyala api, tapi tak kudengar murai bernyanyi, juga tak kulihat dia terbang.
Kulihat langit menaburkan salju di atas padang dan lembah, dilapisi warna putih mayat dari bunga lili yang membeku.
Kulihat kuburan-kuburan, berderet-deret, tegak di hadapan zaman-zaman yang tenang. Tapi tak satu pun kulihat di sana yang bergoyang dalam tarian, juga tidak yang tertunduk dalam doa.
Saat terjaga, kulihat kesedihan dan kepedihan; ke manakah perginya kegembiraan dan kesenangan impian?
Mengapa keindahan mimpi lenyap, dan bagaimana gambaran-gambarannya menghilang? Bagaimana mungkin jiwa tertahan sampai sang tidur membawa kembali roh-roh dari hasrat dan harapannya?

DENGARLAH hatiku, dan dengarlah ucapanku.
Semalam jiwaku adalah sebatang pohon yang kukuh dan tua, menghunjam akar-akarnya ke dasar bumi dan cabang-cabangnya mencekau ke arah yang tak terhingga.
Jiwaku berbunga di musim bunga, memikul buah pada musim panas. Pada musim gugur kukumpulkan buahnya di mangkuk perak dan kuletakkannya di tengah jalan. Orang-orang yang lalu lalang mengambil dan memakannya, serta meneruskan perjalanan mereka.

KALA musim gugur berlalu dan gita pujinya bertukar menjadi lagu kematian dan ratapan, kudapati semua orang telah meninggalkan diriku kecuali satu-satunya buah di talam perak.
Kuambil ia dan memakannya, dan merasakan pahitnya bagai kayu gaharu, masam bak anggur hijau.
Aku berbicara dalam hati,"Bencana bagiku, karena telah kutempatkan sebentuk laknat di dalam mulut orang-orang itu, dan permusuhan dalam perutnya.
" Apa yang telah kaulakukan, jiwaku, dengan kemanisan akar-akarmu itu yang telah meresap dari usus besar bumi, dengan wangian daun-daunmu yang telah meneguk cahaya matahari?"
Lalu kucabut pohon jiwaku yang kukuh dan tua.
Kucabut akarnya dari tanah liat yang di dalamnya dia telah bertunas dan tumbuh dengan subur. Kucabut akar dari masa lampaunya, menanggalkan kenangan seribu musim bunga dan seribu musim gugur.
Dan kutanam sekali lagi pohon jiwaku di tempat lain.
Kutanam dia di padang yang tempatnya jauh dari jalan-jalan waktu. Kulewatkan malam dengan terjaga di sisinya, sambil berkata,"Mengamati bersama malam yang membawa kita mendekati kerlipan bintang."
Aku memberinya minum dengan darah dan airmataku, sambil berkata,"Terdapat sebentuk keharuman dalam darah, dan dalam airmata sebentuk kemanisan."
Tatkala musim bunga tiba, jiwaku berbunga sekali lagi.

PADA musim panas jiwaku menyandang buah. Tatkala musim gugur tiba, kukumpulkan buah-buahnya yang matang di talam emas dan kuletakkan di tengah jalan. Orang-orang melintas, satu demi satu atau dalam kelompok-kelompok, tapi tak satu pun menghulurkan tangannya untuk mengambil bahagiannya.
Lalu kuambil sebuah dan memakannya, merasakan manisnya bagai madu pilihan, lezat seperti musim bunga dari surga, sangat menyenangkan laksana anggur Babylon, wangi bak wangi-wangian dari melati.
Aku menjerit,"Orang-orang tak menginginkan rahmat pada mulutnya atau kebenaran dalam usus mereka, kerana rahmat adalah puteri airmata dan kebenaran putera darah!"
Lalu aku beralih dan duduk di bawah bayangan pohon sunyi jiwaku di sebuah padang yang tempatnya jauh dari jalan waktu.

TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.
Tenanglah, kerana langit menghembus bau amis kematian dan tak bisa meminum nafasmu.
Dengarkan, hatiku, dan dengarkan aku bicara.
Semalam pikiranku adalah kapal yang terumbang-ambing oleh gelombang laut dan digerakkan oleh angin dari pantai ke pantai
Kapal pikiranku kosong kecuali untuk tujuh cawan yang dilimpahi dengan warna-warna, gemilang berwarna-warni.
Sang waktu datang  kala aku merasa jemu  terapung-apungan di atas permukaan laut dan berkata,
"Aku akan kembali ke kapal kosong pikiranku menuju pelabuhan kota tempat aku dilahirkan."
Tatkala kerjaku selesai, kapal pikiranku
Aku mulai mengecat sisi-sisi kapalku dengan warna-warni - kuning matahari terbenam, hijau musim bunga baru, biru kubah langit, merah senjakala yang menjadi kecil. Pada layar dan kemudinya kuukirkan susuk-susuk menakjubkan, menyenangkan mata dan menyenangkan penglihatan.
Tatkala kerjaku selesai, kapal pikiranku laksana pandangan luas seorang nabi, berputar dalam ketidakterbatasan laut dan langit. Kumasuki pelabuhan kotaku, dan orang muncul menemuiku dengan pujian dan rasa terima kasih. Mereka membawaku ke dalam kota, memukul gendang dan meniup seruling.
Ini mereka lakukan karana bagian luar kapalku yang dihias dengan cemerlang, tapi tak seorang pun masuk ke dalam kapal pikiranku.
Tak seorang pun bertanya apakah yang kubawa dari seberang lautan
Tak seorang pun tahu kenapa aku kembali dengan kapal kosongku ke pelabuhan.
Lalu kepada diriku sendiri, aku berkata,"Aku telah menyesatkan orang-orang, dan dengan tujuh cawan warna telah kudustai mata mereka"

Setelah setahun aku menaiki kapal pikiranku dan kulayari di laut untuk kedua kalinya.
Aku berlayar menuju pulau-pulau timur, dan mengisi kapalku dengan dupa dan kemenyan, pohon gaharu dan kayu cendana.
Aku berlayar menuju pulau-pulau barat, dan membawa bijih emas dan gading, batu merah delima dan zamrud, dan sulaman serta pakaian warna merah lembayung.
Dari pulau-pulau selatan aku kembali dengan rantai dan pedang tajam, tombak-tombak panjang, serta beraneka jenis senjata.
Aku mengisi kapal pikiranku dengan harta benda dan barang-barang hasil bumi dan kembali ke pelabuhan kotaku, sambil berkata, "Orang-orangku pasti akan memujiku, memang sudah pastinya. Mereka akan menggendongku ke dalam kota sambil menyanyi dan meniup trompet"
Tapi ketika aku tiba di pelabuhan, tak seorangpun keluar menemuiku. Ketika kumasuki jalan-jalan kota, tak seorang pun memerhatikan diriku.
Aku berdiri di alun-alun sambil mengutuk pada orang-orang bahwa aku membawa buah dan kekayaan bumi. Mereka memandangku, mulutnya penuh tawa, cemoohan pada wajah mereka. Lalu mereka berpaling dariku.
Aku kembali ke pelabuhan, kesal dan bingung. Tak lama kemudian aku melihat kapalku. Maka aku melihat perjuangan dan harapan dari perjalananku yang menghalangi perhatianku. Aku menjerit.
Gelombang laut telah mencuri cat dari sisi-sisi kapalku, tak meninggalkan apa pun kecuali tulang belulang yang bertaburan.
Angin, badai dan terik matahari telah menghapus lukisan-lukisan dari layar, memudarkan ia seperti pakaian berwarna kelabu dan usang.
Kukumpulkan barang-barang hasil dan kekayaan bumi ke dalam sebuah perahu yang terapung di atas permukaan air. Aku kembali ke orang-orangku, tapi mereka menolak diriku karena mata mereka  hanya melihat bagian luar.
Pada saat itu kutinggalkan kapal pikiranku dan pergi ke kota kematian. Aku duduk di antara kuburan-kuburan yang bercat kapur, merenungkan rahasia-rahasianya.

TENANGLAH, hatiku, hingga fajar tiba.
Tenanglah, meskipun prahara yang mengamuk mencerca bisikan-bisikan batinmu, dan gua-gua lembah takkan menggemakan bunyi suaramu.
Tenanglah, hatiku, hingga fajar tiba. Karena dia yang menantikan dengan sabar hingga fajar, pagi hari akan memeluknya dengan semangat.
NUN di sana! Fajar merekah, hatiku. Bicaralah, jika kau mampu bicara!
Itulah arak-arakan sang fajar, hatiku! Akankah hening malam melumpuhkan kedalaman hatimu yang menyanyi menyambut fajar?
Lihatlah kawanan merpati dan burung murai melayang di atas lembah. Akankah kengerian malam menghalangi engkau untuk menduduki sayap bersama mereka?
Para pengembala memandu kawanan dombanya dari tempat ternak dan kandang.
Akankah roh-roh malam menghalangimu untuk mengikuti mereka ke padang rumput hijau?
Anak lelaki dan perempuan bergegas menuju kebun anggur. Kenapa kau tak beranjak dan berjalan bersama mereka?
Bangkitlah, hatiku, bangkit dan berjalan bersama fajar, kerana malam telah berlalu. Ketakutan malam lenyap bersama mimpi gelapnya.
Bangkitlah, hatiku, dan lantangkan suaramu dalam nyanyian, karena hanya anak-anak kegelapan yang gagal menyatu ke dalam nyanyian sang fajar.



BAGI SAHABATKU YANG TERTINDAS

Wahai engkau yang dilahirkan di atas ranjang kesengsaraan, diberi makan pada dada penurunan nilai, yang bermain sebagai seorang anak di rumah tirani, engkau yang memakan roti basimu dengan keluhan dan meminum air keruhmu bercampur dengan airmata yang getir.

Wahai askar yang diperintah oleh hukum yang tidak adil oleh lelaki yang meninggalkan isterinya, anak-anaknya yang masih kecil, sahabat-sahabatnya, dan memasuki gelanggang kematian demi kepentingan cita-cita, yang mereka sebut 'keperluan'.

Wahai penyair yang hidup sebagai orang asing di kampung halamannya, tak dikenali di antara mereka yang mengenalinya, yang hanya berhasrat untuk hidup di atas sampah masyarakat dan dari tinggalan atas permintaan dunia yang hanya tinta dan kertas.

Wahai tawanan yang dilemparkan ke dalam kegelapan kerana kejahatan kecil yang dibuat seumpama kejahatan besar oleh mereka yang membalas kejahatan dengan kejahatan, dibuang dengan kebijaksanaan yang ingin mempertahankan hak melalui cara-cara yang keliru.

Dan engkau, Wahai wanita yang malang, yang kepadanya Tuhan menganugerahkan kecantikan. Masa muda yang tidak setia memandangnya dan mengekorimu, memperdayakan engkau, menanggung kemiskinanmu dengan emas. Ketika kau menyerah padanya, dia meninggalkanmu. Kau serupa mangsa yang gementar dalam cakar-cakar penurunan nilai dan keadaan yang menyedihkan.

Dan kalian, teman-temanku yang rendah hati, para martir bagi hukum buatan manusia. Kau bersedih, dan kesedihanmu adalah akibat dari kebiadaban yang hebat, dari ketidakadilan sang hakim, dari licik si kaya, dan dari keegoisan hamba demi hawa nafsunya

Jangan putus asa, kerana di sebalik ketidakadilan dunia ini, di balik persoalan, di balik awan gemawan, di balik bumi, di balik semua hal ada suatu kekuatan yang tak lain adalah seluruh kadilan, segenap kelembutan, semua kesopanan, segenap cinta kasih.

Engkau laksana bunga yang tumbuh dalam bayangan. Segera angin yang lembut akan bertiup dan membawa bijianmu memasuki cahaya matahari tempat mereka yang akan menjalani suatu kehidupan indah.

Engkau laksana pepohonan telanjang yang rendah kerana berat dan bersama salju musim dingin. Lalu musim bunga akan tiba menyelimutimu dengan dedaunan hijau dan berair banyak.

Kebenaran akan mengoyak tabir airmata yang menyembunyikan senyumanmu. Saudaraku, kuucapkan selamat datang padamu dan kuanggap hina para penindasmu.


BANGSA KASIHAN

Kasihan bangsa yang memakai pakaian yang tidak ditenunnya,
memakan roti dari gandum yang tidak dituainya
dan meminum anggur yang tidak diperasnya

Kasihan bangsa yang menjadikan orang bodoh menjadi pahlawan,
dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah.

Kasihan bangsa yang meremehkan nafsu dalam mimpi-mimpinya ketika tidur, sementara menyerah padanya ketika bangun.

Kasihan bangsa yang tidak pernah angkat suara
kecuali jika sedang berjalan di atas kuburan,
tidak sesumbar kecuali di runtuhan,
dan tidak memberontak kecuali ketika lehernya
sudah berada di antara pedang dan landasan.

Kasihan bangsa yang negarawannya serigala,
falsafahnya karung nasi,
dan senimannya tukang tambal dan tukang tiru.

Kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya
dengan trompet kehormatan namun melepasnya dengan cacian,
hanya untuk menyambut penguasa baru lain dengan trompet lagi.

Kasihan bangsa yang orang sucinya dungu
menghitung tahun-tahun berlalu
dan orang kuatnya masih dalam gendongan.

Kasihan bangsa yang berpecah-belah,
dan masing-masing mengangap dirinya sebagai satu bangsa.

`CINTA (I)

Lalu berkatalah Almitra, Bicaralah pada kami perihal Cinta.

Dan dia mengangkatkan kepalanya dan memandang  ke arah kumpulan manusia itu, dan keheningan menguasai mereka. Dan dengan suara lantang dia berkata:

APabila cinta memberi isyarat kepadamu, ikutilah dia,
Walau jalannya sukar dan curam.
Dan apabila sayapnya memelukmu menyerahlah kepadanya.
Walau pedang tersembunyi di antara ujung-ujung sayapnya bisa melukaimu.
Dan kalau dia berbicara padamu percayalah padanya.
Walau suaranya bisa menggetar mimpi-mimpimu bagai angin utara membinasakan taman.
Kerana sebagaimana cinta memahkotai engkau, demikian pula dia akan menghukummu.
Sebagaimana dia ada untuk menyuburkanmu, demikian pula dia ada untuk mencantasmu.

Sebagaimana dia mendaki ke puncakmu dan membelai mesra ranting-ranting lembutmu yang bergetar dalam cahaya matahari.
Demikian pula dia akan menghunjam ke akarmu dan menggegarkannya di dalam pautanmu pada bumi.
Laksana selonggok jagung dia menghimpun engkau pada dirinya.

Dia menghempuk engkau hingga kau telanjang
Dia mengasing-asingkan kau demi membebaskan engkau dari kulitmu.
Dia menggosok-gosok engkau sampai putih bersih.
Dia meramas engkau hingga kau menjadi lembut;
Dan kemudian dia mengangkat engkau ke api sucinya sehingga engkau bisa menjadi hidangan suci untuk pesta kudus Tuhan.

Semua ini akan ditunaikan padamu oleh Sang Cinta, supaya bisa kau pahami rahasia hatimu, dan di dalam pemahaman dia menjadi sekeping hati Kehidupan.

Namun apabila dalam ketakutanmu kau hanya akan mencari kedamaian dan kenikmatan cinta.

Maka lebih baiklah bagimu untuk menutupi tubuhmu dan melangkah keluar dari lantai-penebah cinta.

Memasuki dunia tanpa musim tempat kau dapat tertawa, tapi tak seluruh gelak tawamu, dan menangis, tapi tak sehabis semua airmatamu.

Cinta tak memberikan apa-apa kecuali dirinya sendiri dan tiada mengambil apa-apa  pun kecuali dari dirinya sendiri.
Cinta tiada memiliki, pun tiada ingin dimiliki;
Karena cinta telah cukup bagi cinta.

Apabila kau mencintai kau takkan berkata, "Tuhan ada di dalam hatiku," tapi sebaliknya, "Aku berada di dalam hati Tuhan."

Dan jangan mengira ka udapat mengarahkan jalannya Cinta, sebab cinta,apabila dia menilaimu memang pantas, mengarahkan jalanmu.

Cinta tak menginginkan yang lain kecuali memenuhi dirinya. Namun apabila kau mencintai dan memerlukan kegairahan, biarlah ini menjadi kegairahanmu: 
Luluhkan dirimu dan mengalirlah bagaikan anak sungai, yang menyanyikan alunannnya bagai sang malam.

Kenalilah penderitaan dari kelembutan yang begitu jauh.
Rasa dilukai akibat pemahamanmu sendiri tentang cinta;
Dan menitiskan darah dengan ikhlas dan gembira.
Terjaga di kala fajar dengan hati berawangan dan mensyukuri hari baru penuh cahaya kasih;

Istirahat di kala siang dan merenungkan kegembiraan cinta yang meluap-luap;

Kembali ke rumah di kala senja dengan rasa syukur;

Dan kemudian tidur bersama doa bagi kekasih di dalam hatimu dan sekuntum nyanyian puji-pujian pada bibirmu.
(Dari 'Sang Nabi')

CINTA (II)

Mereka berkata tentang serigala dan tikus
Minum di sungai yang sama
Di mana singa melepas dahaga

Mereka berkata tentang helang dan  hering
Menghujam paruhnya ke dalam bangkai yg sama
Dan berdamai - di antara satu sama lain,
Dalam kehadiran bangkai - bangkai mati itu

Oh Cinta, yang tangan lembutnya
mengekang keinginanku
Meluapkan rasa lapar dan dahaga
akan maruah dan kebanggaan,
Jangan biarkan nafsu kuat terus menggangguku
Memakan roti dan meminum anggur
Menggoda diriku yang lemah ini
Biarkan rasa lapar menggigitku,
Biarkan rasa haus membakarku,
Biarkan aku mati dan binasa,
Sebelum kuangkat tanganku
Untuk cangkir yang tidak kau isi,
Dan mangkuk yang tidak kau berkati
(Dari 'The Forerunner))








CINTA (III)

Kemarin aku berdiri berdekatan pintu gerbang sebuah rumah ibadat dan bertanya kepada manusia yang lalu-lalang di situ tentang misteri dan kesucian cinta.
Seorang lelaki setengah baya menghampiri, tubuhnya rapuh wajahnya gelap. Sambil mengeluh dia berkata, "Cinta telah membuat suatu kekuatan menjadi lemah, aku mewarisinya dari Manusia Pertama."

Seorang pemuda dengan tubuh kuat dan besar menghampiri. Dengan suara bagai menyanyi dia berkata, "Cinta adalah sebuah ketetapan hati yang ditumbuhkan dariku, yang rnenghubungkan masa sekarang dengan generasi masa lalu dan generasi yang akan datang.'

Seorang wanita dengan wajah melankolis menghampiri dan sambil mendesah, dia berkata, 'Cinta adalah racun pembunuh, ular hitam berbisa yang menderita di neraka, terbang melayang dan berputar-putar menembusi langit sampai ia jatuh tertutup embun, ia hanya akan diminum oleh roh-roh yang haus. Kemudian mereka akan mabuk untuk beberapa saat, diam selama satu tahun dan mati untuk selamanya.'

Seorang gadis dengan pipi kemerahan menghampiri dan dengan tersenyum dia berkata, "Cinta itu laksana air pancuran yang digunakan roh pengantin sebagai siraman ke dalam roh orang-orang yang kuat,  membuat mereka bangkit dalam doa di antara bintang-bintang di malam hari dan senandung pujian  di depan matahari di siang hari.'

Setelah itu seorang lelaki menghampiri. Bajunya hitam, janggutnya panjang dengan dahi berkerut, dia berkata, "Cinta adalah ketidakpedulian yang buta. la bermula dari penghujung masa muda dan berakhir pada pangkal masa muda.'

Seorang lelaki tampan dengan wajah bersinar dan dengan bahagia berkata, 'Cinta adalah pengetahuan surgawi yang menyalakan mata kita. Ia menunjukkan segala sesuatu kepada kita seperti para dewa melihatnya.'

Seorang bermata buta menghampiri, sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke tanah dan dia kemudian berkata sambil menangis, 'Cinta adalah kabus tebal yang menyelubungi gambaran sesuatu darinya atau yang membuatnya hanya melihat hantu dari nafsunya yang berkelana di antara batu karang, tuli terhadap suara-suara dari tangisnya sendiri yang bergema di lembah-lembah.'

Seorang pemuda, dengan membawa sebuah gitar menghampiri dan menyanyi, 'Cinta adalah cahaya ghaib yang bersinar dari kedalaman kehidupan yang peka dan mencerahkan segala yang ada di sekitarnya. Engkau bisa melihat dunia bagai sebuah perarakan yang berjalan melewati padang rumput hijau. Kehidupan adalah bagai sebuah mimpi indah yang diangkat dari kesedaran dan kesedaran.'

Seorang lelaki dengan badan bongkok dan kakinya bengkok bagai potongan-potongan kain menghampiri. Dengan suara bergetar, dia berkata, "Cinta adalah istirahat panjang bagi raga di dalam kesunyian makam, kedamaian bagi jiwa dalam kedalaman keabadian.’

Seorang anak kecil berumur lima tahun menghampiri dan sambil tertawa dia berkata, "Cinta adalah ayahku, cinta adalah ibuku. Hanya ayah dan ibuku yang mengerti tentang cinta."

Waktu terus berjalan. Manusia terus-menerus melewati rumah ibadat. Masing-masing mempunyai pandangannya tersendiri tentang cinta. Semua menyatakan harapan-harapannya dan mengungkapkan misteri-misteri kehidupannya.













CIUMAN PERTAMA

Itulah tegukan pertama dari cawan yang telah diisi oleh para dewa dari air pancuran cinta. 
Itulah batas antara kebimbangan yang menghiburkan dan menyedihkan hati dengan takdir yang mengisinya dengan kebahagiaan.
Itulah baris pembuka dari suatu puisi kehidupan , bab pertama dari suatu novel tentang manusia.
Itulah tali yang menghubungkan pengasingan masa lalu dengan kejayaan masa depan. 
Ciuman pertama menyatukan keheningan perasaan-perasaan dengan nyanyian-nyanyiannya.
Itulah satu kata yang diucapkan oleh sepasang bibir yang menyatukan hati sebagai singgasana, cinta sebagai raja, kesetiaan sebagai mahkota. 
Itulah sentuhan lembut yang mengungkapkan bagaimana jari-jemari angin mencumbui mulut bunga mawar, mempesonakan desah nafas kenikmatan panjang dan rintihan manis nan lirih.
Itulah permulaan getaran-getaran yang memisahkan kekasih dari dunia ruang dan matra dan membawa mereka kepada ilham dan impian-impian. 
Ia memadukan taman bunga berbentuk bintang-bintang dengan bunga buah delima, menyatukan dua aroma untuk melahirkan jiwa ketiga.
Jika pandangan pertama adalah seperti benih yang ditaburkan para dewa di ladang hati manusia, maka ciuman pertama mengungkapkan bunga pertama yang mekar pada ranting pohon cabang pertama kehidupan.

No comments:

Post a Comment